Sabtu, 18 Juni 2016

Nurina Selamat jalan

Waktu berlalu dan kami siswa kelas 6 SD mulai sibuk belajar untuk ujian nasional dan selanjutnya mencari sekolah baru meneruskan jenjang SMP. Sekolahku adalah sekolah yayasan mulai dari TK, SD, dan SMP. Sebagian besar dari kami melanjutkan disekolah yang sama termasuk Nurina, yang lain mencoba masuk sekolah negeri. Sementara aku memilih untuk masuk pesantren ikut kakak yang sudah duluan disana. Waktu itu aku merasa bangga sekali mau masuk pesantren termasuk guru-guru dan teman yang tahu keinginanku untuk pesantren ikut bangga dan mendukung keputusanku. Rasanya, begitu jelas arah mana jalan yang kupilih. Setelah benar-benar dinyatakan lulus aku fokus mengikuti proses seleksi penerimaan santri baru di pesantren daerah banten itu. Sebuah pesantren modern dengan sistem pendidikan seperti gontor almamater kyai  pendiri pesantrenku. Ahmad adalah kawan dekatku yang juga memilih pesantren melanjutkan SMPnya di daerah jakarta barat. Jadi, ada dua orang siswa sekolah kami yang melanjutkan ke pesantren.

Seingatku waktu itu hari terakhir tes penerimaan santri baru adalah baca tulis Al-Qur'an dan wawancara yang akan menentukan diterima atau tidaknya aku sekolah disana. Setelah lama menunggu akhirnya kami diberitahukan bahwa nama-nama peserta yang diterima sudah dapat dilihat di papan-papan tulis di aula pesantren.  Waktu itu ayah yang mencari namaku dan tidak lama kemudian ayah kembali dengan sumringah. Aku diterima.

Setelah resmi menjadi santri baru kemudian dilanjutkan dengan penentuan gedung asrama, kamar dan kelas. Kamarku terletak di Gedung Annajah kamar 6 bersama 20an santri baru lainnya dan 1orang kakak kelas 5 yang menjadi ketua kamar. Untuk sekolah, aku ditempatkan di kelas 1J. Penentuan kelas berdasarkan peringkat. Jadi, mereka yang pintar otomatis akan mendapat kelas unggulan A,B dan C. Untuk angkatanku kelas satu sampai dengan 1Q. Sistem ini sengaja dilakukan dengan nuansa "Fastabiqul khoirot" (berlomba dalam kebaikan) yang selalu digaungkan kyai disetiap pidatonya. Sepertinya begitu.

Sejak aku dipesantren aku tidak pernah lagi berhubungan dengan teman-teman sekolahku dulu. Melalui telpon biasanya ibu mengabari tentang kabar teman-teman sekolahku dan salam dari guru-guru supaya betah dan giat belajar di pesantren. Ibu memang sangat aktif dan menjadi pengurus majlis ta'lim untuk wali murid di sekolah juga karena masih ada adikku yang masih sekolah disana.

Dipesantren kami memang ditempa untuk belajar, belajar, dan belajar. Urusan ibadah sholat 5 waktu selalu(wajib) berjamaah di masjid. Mengaji kami mendapat firqoh(kelompok) yang dipimpin kakak kelas dan ustadz. Komunikasi dengan luar sangat dibatasi. zaman itu telpon genggam belum ada. Tapi, pesantren menyediakan wartel dilingkungan pesantren. Tv, radio tidak diperbolehkan disini. Kalaupun dibolehkan dengan aktivitas yang begitu padat rasanya tidak ada waktu untuk menonton TV atau mendengarkan radio. Aku sangat menikmati hari-hariku dipesantren dulu meskipun awalnya diminggu pertama kami para santri baru sering menangis karena rindu rumah.

Hari-hari berlalu begitu cepatnya sampai akhirnya aku naik kelas 2. Sampai pada suatu hari ketika aku menelpon ke rumah ditengah percakapanku tiba-tiba ibu ingin menyampaikan sesuatu yang sangat serius.
(Di telepon)
Ibu: "bud, ibu ado kabar tapi kau jangan sedih ya. Sabar-sabar."
Aku: "kabar apo bu?" Perasaanku langsung bingung. Takut tapi penasaran.
Ibu: "hmm.."
Aku:"kenapo bu?!"
Ibu: "kawan kau Nurina.."
Aku: "Nurina kenapo bu?"
Ibu: "Nurina meninggal"
Aku: "inna lillahi wa inna ilaihi rooji'uun" lalu aku terdiam dan seketika sekujur tubuhku dingin. Aku menggigil. Flash back kenangan dengan Nurina sekejap memenuhi otakku. Tak terbendung air mataku mengalir dan seketika hidungku mampat. Kuseka air mataku jangan sampai ada yang melihatku menangis. Kudongakkan kepalaku menahan air mata. Ini adalah kehilangan sahabat pertamaku.
Ibu: "budi. Kau yang sabar yoo.. kirim do'a buat Nurina."
Aku: "iyo bu. Nurina kenapo bu?"
Ibu: "Nurina caknyo sakit. Waktu balek dari senayan samo kawan-kawan." (Nurina kayaknya sakit. Waktu pulang dari senayan)
Aku: "ooh, iyo bu. Bu sudah dulu yo. Aku nak balek ke kamar." (Bu sudah dulu ya. Aku mau ke kamar.)
Ibu: "yo bud."
Aku: "Assalamu alaikum"
Ibu: " waalaikum salaam"
Begitu selesai menutup telpon. Aku langsung kembali ke kamar. Kurebahkan badanku di kasur dan kututupi muka dengan bantal. Kupuaskan tangis dan ingusku sore itu. Nurina selamat jalan.

Kamis, 16 Juni 2016

Nuri..na!! Minta belimbing

Meski samar-samar aku ingat wajahnya. Tapi, senyumnya lekat sekali di hati. Bibir tipis dengan lesung pipit dan geliginya yang tersusun rapih. Cantik.
Perempuan mungil dan cantik itu namanya Nurina (cahaya kami). Nurina tidak hanya cantik, dia sopan, ramah, baik. Tak puas ketemu di sekolah aku sering cari-cari alasan supaya bisa main kerumahnya. Adalah samsul sahabat baikku yang paling sering kuajak ke rumah nurina atau sebaliknya. Minjem catetan, ngerjain pe-er bareng, atau minta belimbing alasan yang paling sering. Samsul dan keluarganya saban siang suka sekali rujak.
Samsul "Bud, ngrujak yuk!"
Aku: "yuk..!! Kerumah Nurina minta belimbing!!"
Samsul: "yuk..!!"
Kami kerumah Nurina naik sepeda. Sepanjang jalan kerumah Nurina aku senyum-senyum sendiri.
(Di rumah Nurina)
Aku: "sul, panggil gih"
Samsul: "elu aja bud.."
Aku: "bareng ya tapi"
Samsul: "iyaa"
Aku, samsul: "Nuri...na!! Minta belimbi..ng"
Cekrek, suara pintu dibuka
Nurina: "eh, iya.. boleh"
Buka pager
Aku, samsul: "hehehehe.."
Samsul: "bud panjaat!!"
Nurina senyum. Aku bengong. Bego.
Samsul: "bud!! Panjaat!"
Aku: "eh,, iya sul"
Soal panjat memanjat memang aku yang selalu disuruh lantaran kurus. Jadi bisa menggapai belimbing yang di ujung dahan. Samsul menunggu operan belimbing dariku dibawah.
Nurina: "ambilnya yang udah kuning-kuning aja ya" sambil mendangak kearahku
Aku: "iya nur'
Samsul: "bud, udah cukup nih. Banyak"
Aku: "oke!!"
Turun dari pohon
Aku: "nur, makasih yaa"
Nurina: senyum "iya, sama-sama"
Samsul: "Nur, makasih yaa"
Nurina: senyum "iya, sama-sama"
Samsul: "yuk bud. Pulang"
Aku: "yuk..!"
Yes, udah ketemu nurina. Kami pulang kerumah samsul buat lanjut ngerujak. Samsul dapet belimbing. Aku dapet ketemu Nurina. Kemudian kami tersenyum sepanjang jalan.
Di lain hari aku dan samsul janjian main sepeda sore. Rumah Nurina selalu jadi rute sepeda kami. Setiap depan rumah nurina aku selalu mengurangi laju sepeda kemudian kupanggil "Nuri..na!!" Kemudian kutengok kebelakang. "Ah, nggak keluar. Tapi, gapapa deh kan udah lewat rumahnya." Ngomong sendiri. Meskipun cuma ketemu rumahnya. Itu saja sudah cukup untuk menggenapkan hari dan membuatku tersenyum.

NAK BELI GENDOM

Waktu itu umurku sekitar 9 tahun kenaikan kelas 3 sd kemudian pindah sekolah ke jakarta  yang sebelumnya sekolah di kampung sdn 18 muara enim. Di jakarta aku tinggal dengan bude dan alasan kenapa pindah ke jakarta "lupa".
Satu waktu bude minta tolong ke warung
Bude: "Bud, tolong belike bude gendom di warong bang kesuk. Ini duitnyo"
Aku: "Iyo de"
Segera aku pergi ke warung yang dimaksud bude.
(Di warung)
"Belanjo..."
"Belanjo...."
"Belanjo....!!'
Warung buka tapi koq nggak ada yang jaga. Akhirnya aku pulang ke rumah tanpa belanjaan.
Aku: "De dak katek yang jual" (de nggak ada yang jual)
Bude: "hah?! Kau cakmano tadi ke warong tu?" (Hah?! Kamu gimana tadi ke warung?)
Aku: "aku jeritke, belanjo.. belanjo.. dak katek yang metu" (aku teriak, belanjo..belanjo.. nggak ada yang keluar)
Bude: "ooh.. pantes lah. Kalo disini ngomongnyo beli bukan belanjo"
Aku: "ooh... iyo de"
Bude: "pegi sano ke warung lagi"
Berangkat lagi ke warung
(Di warung)
"Beli.."
"Be..li.."
Dari dalem ada yang teriak "iya... sebentar"
Eh, bener yang punya warung nyaut
Ibu warung: "iya tong, mau beli apaan?"
Aku: "nak beli gendom" langsung ngasih duit
Ibu warung: "hah?! Apaan?"
Aku: "nak beli gendo...m"
Ibu warung: "gendom?? Gendom apaan yak? Mpo kagak tau gendom apaan. Tanyain dulu gih balik ke rumah" balikin duit.
Hmm!!! Pulang lagi ke rumah. Masa orang jakarta nggak tau gendom. Payah.
(Di rumah)
Aku: " Bude, wong yang jual idak tau gendom"
Bude: "hahahaha!!" Ketawa puas banget
Bude: "kalo disini gendom itu terigu.. budi..."
Aku: "ooh..te..ri..gu..."
Bude: " pegilah lagi. Beli terigu yo.."
(Di warung)
Aku: be..li..!!"
Ibu warung: "eh, iya tong apaan?"
Aku: " beli terigu" kasih duit
Ibu warung: "ooh terigu.. gendom ya?"
Aku: "iyo, terigu"
Ibu warung: "nih terigunya, ini kembaliannya"
Aku: "iyo, mokaseh buk"